Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren mengkhawatirkan. Semakin banyak warga Indonesia yang menunda atau bahkan enggan menikah. Menurut Laporan Statistik Indonesia 2024, terjadi penurunan jumlah pernikahan yang signifikan dalam enam tahun terakhir, dengan penurunan paling drastis terjadi dalam tiga tahun terakhir. Angka pernikahan di Indonesia menyusut sebanyak 2 juta dari tahun 2021-2023. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga Korea Selatan dan China. Data dari Statistics Korea menunjukkan hanya 27,5 persen wanita muda berusia 20-an tahun yang bersedia menikah. Di China, gaya hidup lajang semakin populer.
Penurunan angka pernikahan dapat berdampak serius pada kesehatan mental masyarakat. Penelitian menunjukkan ketidakstabilan hubungan dapat meningkatkan risiko gangguan kejiwaan seperti depresi dan kecemasan. Selain itu, penurunan angka kelahiran juga dapat memengaruhi kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Dampaknya meliputi penurunan jumlah populasi yang pada gilirannya akan mengurangi jumlah tenaga kerja yang tersedia, mengganggu sistem pensiun, dan mengakibatkan peningkatan beban bagi generasi yang lebih tua.
Tantangan ekonomi juga menjadi faktor yang signifikan. Kesulitan finansial dapat memengaruhi keputusan untuk menikah dan memiliki anak. Ketidakstabilan ekonomi keluarga juga dapat mengakibatkan stres dan konflik dalam hubungan, yang pada akhirnya dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental. Penundaan pernikahan juga dapat mengakibatkan penundaan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi. Hal ini dapat meningkatkan risiko komplikasi kehamilan dan melahirkan, serta mengurangi kesempatan mendapat perawatan pranikah yang penting untuk mencegah penularan penyakit menular seksual.
Penurunan angka pernikahan tidak hanya merupakan isu sosial dan ekonomi, tapi juga memiliki dampak signifikan pada kesehatan masyarakat. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan holistik dan kolaboratif dari berbagai sektor, termasuk kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan sosial. Langkah-langkah ini harus didasarkan pada pemahaman mendalam tentang faktor-faktor yang memengaruhi keputusan untuk menikah, memiliki anak, serta perluasan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang aman dan terjangkau. (berbagai sumber/sekar)